Total Tayangan Halaman

Selamat Datang Bagi Semua

Blog ini berisi konten-konten yang menarik dari berbagai sumber, yang mungkin bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian..

Jumat, 04 Februari 2011

Penyakit Misterius Musiman Melanda Anjing

Akibat penyakit yang belum diketahui itu, anjing menjadi lemas, lesu dan mengalami diare.

Penyakit musiman misterius melanda anjing di beberapa kawasan di Inggris. (freefoto)

VIVAnews - Sebuah penyakit musiman terdeteksi telah melanda sejumlah anjing di kawasan tertentu di Inggris. Penyakit ini pertamakali diketahui keberadaannya pada musim gugur tahun 2009 lalu.

Selama 2 tahun terakhir, penyakit yang belum diketahui tersebut didapati telah menyerang 19 ekor anjing di kawasan Warwickshire, Nottinghamshire, dan Lincolnshire, Inggris. Sebanyak 12 di antaranya mati.

Seperti dikutip dari MedIndia, 28 Januari 2011, penyakit ini kembali melanda di tahun 2010 lalu. Kasus yang bermunculan memicu Animal Health Trust untuk melakukan penelitian terhadap penyakit baru itu. Adapun gejalanya adalah anjing menjadi lemah, mengalami diare, dan lesu.

“Dari penelitian, terbukti bahwa racun buatan manusia bukanlah penyebab munculnya penyakit tersebut,” kata Jo Atkinson, peneliti dari Forestry Commission. “Kami yakin bahwa penyakit misterius yang melanda para anjing itu merupakan penyakit alami,” ucapnya.

Atkinson menyebutkan, yang akan pihaknya lakukan adalah bekerjasama dengan Animal Health Trust untuk mengetahui skala wabah penyakit ini agar dapat memahami situasi yang terjadi di setiap kasus.

Saat ini, sebuah kuesioner online telah dibuat bagi para pemilik hewan untuk membantu mengetahui lebih lanjut seputar penyakit yang bersangkutan.
• VIVAnews

Cheetah Iran, Satu-satunya Spesies Tersisa

Cheetah Asia berpisah dengan cheetah lain yang tinggal di Afrika, 30 ribu tahun yang lalu

Cheetah Iran, satu-satunya subspesies cheetah Asia yang tersisa. (bbc.co.uk)
 
VIVAnews - Dari penelitian genetik, cheetah Iran yang sangat terancam punah ternyata merupakan satu-satunya subspesies unik cheetah tua Asia yang tersisa. Ia termasuk ke dalam subspesies Acinonyx jubatus (A.j.) venaticus.

Dari perbandingan DNA antara spesies cheetah, diketahui bahwa cheetah Asia berpisah dengan cheetah lain yang tinggal di Afrika, pada 30 ribu tahun yang lalu.

Temuan ini melengkapi temuan yang diumumkan pada tahun 1990-an yang menyebutkan bahwa cheetah yang ada di kawasan selatan Afrika (Acinonyx jubatus jubatus) dan cheetah yang ada di kawasan timur Afrika (Acinonyx jubatus raineyi) merupakan sub spesies yang berbeda.

Sebagai informasi, cheetah awalnya dapat ditemukan di 44 negara di Afrika. Saat ini, hanya 29 negara saja yang memiliki cheetah. Sepanjang sejarahnya, cheetah juga tersebar mulai dari kawasan barat daya Asia sampai Asia tengah. Namun kini cheetah Asia cuma ada di Iran.

Pada penelitian, Pamela Burger, dokter dari University of Veterinary Medicine in Vienna, Austria dan timnya bekerjasama dengan Department of Environment Iran serta kelompok konservasi kucing liar, Panthera untuk mengamati cheetah Iran lebih dekat.

“Dari data yang kami dapat, terbukti bahwa cheetah Iran mewakili subspesies Asia yakni A.j. venaticus karena memiliki profil genetik serupa dengan spesimen yang berasal dari barat laut Iran pada tahun 800 - 900 kalender Hebrew,” kata Burger, seperti dikutip dari BBC, 28 Januari 2011.

Peneliti juga berhasil menemukan perbedaan cheetah iran dengan cheetah terdekat dari kawasan timur laut Afrika yang dikonfirmasi sebagai A.j. soemmeringii.

Saat ini, diperkirakan hanya tersisa antara 60 sampai 100 ekor cheetah Iran dengan kurang dari separuhnya yang berada di usia subur. Rendahnya populasi cheetah ini sudah masuk ke daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

“Implikasi dari penemuan kami adalah pada manjemen konservasi yang perlu kita lakukan di masa depan,” kata Burger. “Jika tujuannya adalah untuk melestarikan biodiversity, subspesies cheetah ini tidak boleh dicampur,” ucapnya.

Sayangnya, cheetah Iran mengalami berbagai masalah mulai dari perburuan berlebihan terhadap mangsa mereka, degradasi habitat, sampai ke perburuan liar atas cheetah itu sendiri. Untuk itu, peneliti meminta cheetah Iran harus dilestarikan untuk melindungi masa depan cheetah pada umumnya.
• VIVAnews

Orangutan Lebih Mirip dengan Manusia

Kemiripan gen orangutan mencapai 97%. Kenapa ia diperkirakan akan punah dalam 30 tahun?

Orangutan, memiliki 97% kemiripan genetika dengan manusia  
VIVAnews - Sebuah hasil penelitian mengungkapkan sejumlah fakta bahwa orangutan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan manusia, lebih dari yang diperkirakan sebelumnya.
Seperti dikutip dari DailyMail, penelitian itu menyatakan bahwa DNA orangutan memiliki persamaan dengan DNA manusia dengan tingkat kemiripan yang mencapai hingga 97 persen.
Penelitian ini adalah yang pertama yang dilakukan terhadap spesies yang kini keberadaannya terancam punah itu.
Walaupun, tingkat persamaan DNA Orangutan dengan manusia belum melampaui kemiripan DNA manusia dengan simpanse, yakni 99 persen, namun beberapa jurnal Genome Research malah mengungkap beberapa hasil pengamatan DNA orangutan tertentu yang lebih mirip manusia, ketimbang simpanse.
Para pakar meneliti gen Orangutan Sumatra dan Kalimantan, yang jumlahnya semakin menyusut akibat terjadinya pembabatan hutan (deforestasi). Kini diperkirakan hanya ada sekitar 50 ribu Orangutan Kalimantan dan 7 ribu orangutan Sumatra.
"Dalam hal evolusi, gen orangutan memiliki keunikan di antara kera besar lain. Orangutan memiliki gen yang relatif stabil selama 15 juta tahun terakhir," kata Richard Wilson, Direktur School of Medicine Genome Centre Washington University di St Louis.
Selain itu, riset juga menemukan orang utan memiliki keragaman genetika yang begitu tingggi. Riset mencatat adanya 13 juta variasi DNA di gen orangutan.
Keragaman genetika ini adalah hal yang sangat penting bagi konservasi, karena akan membantu orangutan untuk beradaptasi menghadapi perubahan yang terjadi di lingkungan mereka
Tapi, menurut Jeffrey Rogers, salah satu anggota peneliti yang berasal dari Baylor College of Medicine Houston,  keragaman genetika ini tak banyak membantu, bila hutan habitatnya terus menyusut.
"Bila (deforestasi) terus berjalan seperti sekarang, kita tidak akan dapat lagi menemui orangutan dalam waktu 30 tahun ke depan."

• VIVAnews

Mayoritas Guru SMA Tak Dukung Teori Evolusi

Hanya 28 persen guru Biologi SMA di AS yang mengajarkan teori evolusi dengan konsisten.

Teori evolusi besutan Charles Darwin tak didukung guru SMA di AS (AP Photo)

VIVAnews - Kebanyakan guru biologi SMA di Amerika Serikat ternyata tidak mendukung teori evolusi besutan Charles Darwin.
Seperti dikutip dari Washington Post, riset yang dilakukan terhadap sekolah negeri di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa mayoritas guru biologi tidak mengajarkan teori evolusi sesuai yang direkomendasikan oleh National Research Council.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Profesor Michael Berkman dan Eric Plutzer, hanya 28 persen dari guru-guru Biologi SMA di AS yang secara konsisten mengajarkan Biologi sebagai suatu hal menyatu dengan topik lain pada ilmu biologi.
Sementara itu, 13 persen guru Biologi jelas-jelas membela creationism (teori yang berseberangan dengan teori evolusi): bahwa alam semesta, bumi, kehidupan, manusia diciptakan oleh kekuatan supernatural (Tuhan).
Selebihnya, 60 persen guru lainnya meragukan otoritas para peneliti pendukung teori Darwin, dan bahkan melegitimasi argumen dari kelompok kreasionis. Guru-guru ini biasanya menghindari kontroversi antara teori evolusi dengan creationism.
Di antara mereka ada yang hanya mengajarkan biologi molekuler, atau mengatakan kepada siswanya bahwa mereka boleh tidak mempercayai teori evolusi, namun mereka perlu mengetahuinya hanya untuk keperluan ujian.
Riset ini sendiri meneliti sekitar 926 sampel guru biologi di berbagai SMA negeri di Amerika Serikat. Padahal, asosiasi guru sains AS sendiri secara jelas menjelaskan posisi mereka yang mendukung teori evolusi.
"Asosiasi Guru Sains Nasional AS (NSTA) sangat mendukung posisi teori evolusi sebagai konsep yang menyatu dalam sains dan harus disertakan dalam kurikulum pendidikan di SMA." (hs)


• VIVAnews

Kodok Tumbuhkan Gigi dalam 20 Juta Tahun

Temuan ini membuktikan bahwa ada celah pada teori evolusi yang digunakan sebelumnya.

Kodok pohon (Gastrotheca guentheri), satu-satunya kodok yang berhasil menumbuhkan kembali gigi bawahnya. (bbc.co.uk)

VIVAnews - Gastrotheca Guentheri atau kodok pohon ternyata sangat unik. Dari seluruh spesies kodok yang ada saat ini, ia merupakan satu-satunya kodok yang memiliki gigi di rahang atas dan bawah.

Kembali ditemukannya gigi bawah pada kodok setelah ratusan juta tahun memunculkan perdebatan sengit seputar evolusi menghilangnya sesuatu bisa berlanjut dengan evolusi pemunculannya kembali.

Bukti baru yang ditemukan pada Gastrotheca guentheri juga menunjukkan  bahwa ada celah pada teori yang digunakan sebelumnya.

“Kami mengombinasikan data dari fosil dan DNA dengan metode statistik terbaru. Ternyata, kodok kehilangan gigi di rahang bawah sekitar 230 juta tahun lalu,” kata John Wiens, ketua tim peneliti dari Stony Brook University, New York, seperti dikutip dari BBC, 1 Februari 2011.

Namun, pada laporannya yang dipublikasikan di jurnal Evolution, Wiens menyebutkan, dalam 20 juta tahun terakhir, spesies kodok Gastrotheca guentheri (G. guentheri) berhasil memunculkan kembali deretan gigi rahang bawah mereka yang hilang.

Sebelumnya, kalangan ilmuwan berpendapat bahwa hilangnya sesuatu selama evolusi tidaklah bisa dikembalikan. Teori ini disebut juga sebagai Dollo’s Law. Namun munculnya gigi bawah G. guentheri setelah lebih dari 200 juta tahun bisa membuat teori tersebut dipertimbangkan kembali.

“Hilangnya gigi bawah milik nenek moyang kodok modern dan kemunculannya kembali di kodok G. Guentheri menyediakan bukti kuat bahwa secara anatomi kompleks, sesuatu yang hilang akibat evolusi bisa muncul kembali,” kata Wiens. “Bahkan setelah lenyap selama ratusan juta tahun.”

Wiens yakin bahwa re-evolusi ini bisa dinilai sebagai celah pada Dollo’s Law. “Celah ini mungkin juga berlaku untuk kasus lain, misalnya munculnya kembali jari-jari milik kadal yang hilang,” ucap Wiens. (hs)


• VIVAnews

Kenapa Tubuh Kuda Laut Seperti Kuda?

Tak seperti kebanyakan ikan, kuda laut adalah binatang yang monogamis.

Kenapa bentuk tubuh kuda laut seperti kuda? (badmanstropicalfish.com)

VIVAnews - Kuda laut merupakan spesies kerabat dekat ikan pipa (pipefish). Ikan pipa memiliki tubuh yang lurus panjang seperti pipa. Namun, kenapa tubuh kuda laut bentuknya seperti kuda?
Ternyata, menurut ilmuwan, tubuh kuda laut itu merupakan hasil proses evolusi. Dengan tubuhnya yang melengkung seperti huruf S, kuda laut mampu memburu mangsanya secara lebih efektif.
Seperti dikutip dari situs BBC, berdasarkan jurnal Nature Communication, dibandingkan dengan ikan pipa, kuda laut bisa menyerang mangsa mereka dari jarak yang lebih jauh.
Sam Van Wassenbergh, peneliti dari University of Antwerp Belgia, mengatakan bahwa lekukan leher kuda laut memungkinkannya untuk menangkap mangsa lebih jauh.
Seperti halnya ikan pipa, kuda laut berburu dengan cara menghisap mangsa melalui moncongnya. Namun, ikan pipa cenderung memburu dengan mengejar mangsanya.
Sementara, kuda laut cenderung diam dan menunggu hingga mangsanya, crustasea (hewan air kecil berkulit keras), lewat di depannya. Saat mangsa lewat di depannya, kuda laut akan memutar kepalanya ke arah atas dan membuka mulutnya dan menghisapnya.
"Teori saya adalah kuda laut berevolusi dari nenek moyang ikan pipa, menjadi hewan yang memiliki gaya hidup yang lebih tersembunyi," kata Sam kepada BBC.
 seahorse at aquarium
Kuda laut sendiri merupakan hewan yang cukup unik. Tak seperti kebanyakan ikan, kuda laut adalah binatang yang monogamis. Mereka memilih pasangan sekali untuk seumur hidup.
Tak hanya itu kuda laut jantan merupakan satu-satunya spesies jantan yang hamil. Artinya, kuda laut tetap membuahi telur betina, namun, kuda laut jantanlah yang mengandung anak-anaknya. (hs)

• VIVAnews

Tanaman 'Bunglon' Bisa Berganti Warna

Ilmuwan menemukan tanaman yang bisa mendeteksi keberadaan bahan berbahaya di sekitarnya.

Ilmuwan dan tanaman 'bunglon' yang bisa berganti warna (The Denver Post)

VIVAnews - Bukan cuma bunglon yang bisa berganti warna kulit. Ternyata, tanaman pun kini bisa berubah warna sesuai dengan kondisi yang menaunginya.
Adalah June Medford, seorang pakar biologi dari Colorado State University, yang berhasil melakukan rekayasa genetik terhadap tanaman arabidopsis, sehingga tanaman tersebut bisa berganti warna.
Seperti dikutip dari situs PCWorld,  tanaman hasil rekayasa Medford dan timnya, akan berubah warna dari hijau menjadi putih saat tanaman itu mendeteksi kehadiran unsur berbahaya di dekatnya, seperti obat terlarang, polutan, atau bahkan material eksplosif.
Awalnya, Medford menggunakan komputer untuk mendesain protein tanaman bernama reseptor. Kemudian, Medford memanfaatkan bakteri untuk memodifikasi reseptor tanaman tersebut.
Dengan struktur genetika yang telah dimodifikasi, maka reseptor tumbuhan bisa mendeteksi partikel-partikel bahan kimia berbahaya, polutan, bahan peledak, atau ancaman lain. Saat mendeteksi kehadiran zat-zat tersebut, tanaman akan mengirimkan sinyal, sehingga warna hijaunya berubah menjadi putih.
"Bila Anda membawa sesuatu ke bandara internasional Denver, misalnya sebuah bahan peledak, maka tanaman ini akan berubah warna menjadi putih. Ini akan memberikan keamanan bagi Anda," kata Medford, 52, kepada situs The Denver Post.

Proyek penelitian itu didukung oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) sejak 2003, dengan bantuan dana sebesar US$500 ribu atau Rp4,5 miliar. Belakangan, riset ini juga mendapat dukungan dari The Office of Naval Research, Department of Homeland Security, dan Defense Threat Reduction Agency.
"Harapan kami, tanaman ini bisa ditempatkan di lokasi umum, sehingga bisa mendeteksi bahan peledak di lokasi tempat benda berbahaya itu sedang dirakit," kata Doug Bauer, Program Manager riset eksplosif pada Homeland Security di Washington DC.
Aplikasi lainnya, tanaman ini juga bisa digunakan oleh polisi untuk memberantas peredaran obat terlarang, atau melindungi tentara yang tengah konvoi dari bom dan ranjau.
Kini, tanaman ini masih memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk merespons keberadaan zat-zat berbahaya tadi dan perubahan warna. Namun, para ilmuwan yakin akan diperoleh kemajuan sehingga respons yang ditunjukkan tanaman bisa segera terlihat dalam hitungan menit. (art)
• VIVAnews

Malaysia Lepas Ribuan Nyamuk Demam Berdarah

Didesain untuk mengetahui sampai sejauh mana nyamuk mampu bertahan hidup.

Aedes aegypti, nyamuk penyebab demam berdarah dengue. (www.jakarta.go.id)

VIVAnews - Menurut laporan Institute for Medical Research (IMR), Kuala Lumpur, Malaysia, diam-diam sebanyak enam ribu ekor nyamuk transgenik, yang dikembangkan untuk melawan demam berdarah, dilepas pada 21 Desember lalu. Sama dengan pelepasan nyamuk yang telah dimodifikasi secara genetik di Karibia dan Cayman pada tahun 2009 dan 2010 lalu, pelepasan nyamuk tersebut mengejutkan banyak kalangan dan memicu pro-kontra.

Di Malaysia, nyamuk yang dibuat oleh Oxitec, sebuah perusahaan biologi asal Inggris itu merupakan nyamuk Aedes aegypti--nyamuk pembawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah--jantan yang dimandulkan. Saat nyamuk Aedes betina kawin dengan pejantan-pejantan mandul itu, mereka tidak punya keturunan. Harapannya, populasi nyamuk akan anjlok.

Penelitian yang dilakukan di sebuah kawasan terpencil di Bentong, Pahang, uji coba kali ini didesain untuk mengetahui sampai sejauh mana nyamuk tersebut mampu bertahan hidup dan menjelajah lingkungan.

“Sebanyak enam ribu nyamuk Aedes jantan dilepas untuk diuji coba daya tahannya terhadap lingkungan dan diteliti sampai sejauh mana ia mampu beredar,” kata Luke Alphey, Chief Scientific Officer Oxitec, seperti dikutip dari Sciencemag, 31 Januari 2011. “Penelitian itu sendiri sudah berakhir pada 5 Januari lalu setelah insektisida disemprotkan untuk mematikan nyamuk yang masih hidup."

Oleh sejumlah kalangan, pelepasan nyamuk ini dinilai tergesa-gesa dan terlalu dirahasiakan. Meski demikian, hal tersebut dibantah oleh Oxitec. “Penelitian ini dilakukan oleh pemerintah dan dilaksanakan di Malaysia. Jadi, terserah pemerintah apakah akan mengumumkannya atau tidak,” kata Alphey. “Siapapun yang menyadari bahwa ada 50 sampai 100 juta kasus demam berdarah dengue per tahun di seluruh dunia tentu akan merasakan betapa pentingnya penelitian ini."

Penelitian yang sama yang dilakukan di Grand Cayman tahun lalu sendiri jauh lebih besar skalanya. Di sana, sebanyak tiga juta nyamuk jantan dilepas untuk mengetahui apakah mereka bisa membantu menurunkan populasi nyamuk. Ternyata, dalam laporannya kemudian, populasi nyamuk bisa ditekan hingga 80 persen. “Hasil penelitian yang kami lakukan kali ini telah dikirimkan ke jurnal ilmu pengetahuan,” kata Alphey. (kd)
• VIVAnews

Spesies Serigala Baru Ditemukan di Afrika

Spesies tersebut merupakan serigala abu-abu satu-satunya yang berasal dari Afrika.


Grey Wolf, satu-satunya spesies serigala abu-abu dari Afrika. (sciencedaily.com)

VIVAnews - Peneliti membuktikan bahwa hewan misterius yang sebelumnya disebut dengan ‘Egyptian jackal’ dan kadang dikira golden jackal, ternyata bukan merupakan sub spesies dari jackal (anjing hutan), melainkan serigala abu-abu (grey wolf).

Tim peneliti dari Wildlife Conservation Research Unit (WildCRU) Oxford University dan Addis Ababa University menyimpulkan bahwa serigala abu-abu muncul di Afrika sekitar tiga juta tahun lalu sebelum kemudian menyebar ke berbagai penjuru di utara Khatulistiwa.

Serigala spesies baru ini merupakan kerabat dari serigala abu-abu Holarctic, serigala India, dan serigala Himalaya.

“Ditemukannya spesies serigala di Afrika bukan hanya berita penting, akan tetapi juga memunculkan pertanyaan besar di dunia biologi,” kata David Macdonald, Director of WildCRU, seperti dikutip dari ScienceDaily, 4 Februari 2011.

Macdonald menyebutkan, bagaimana serigala Afrika bisa berkembang dan hidup berdampingan bersama dengan anjing hutan serta serigala Ethiopia yang sangat langka dan merupakan spesies yang sangat berbeda, perlu diteliti lebih lanjut.

“Temuan ini berkontribusi terhadap pemahaman kita tentang biogeografi dari fauna Afroalpine, sebuah himpunan spesies dengan nenek moyang Afrika dan Eurasia yang berkembang di kawasan yang relatif terisolasi di dataran tinggi Afrika,” ucap Claudio Sillero, peneliti dari WildCRU dan ketua Canid Specialist Group, IUCN.

Serigala Ethiopia sendiri merupakan imigran baru di Afrika. Mereka terpisah dari kelompok serigala abu-abu lebih dulu dibandingkan dengan serigala Afrika yang baru ditemukan ini.

Pada kesempatan tersebut, tim peneliti juga menemukan spesimen yang sangat mirip secara genetik dengan serigala baru ini di dataran tinggi Ethiopia, sekitar 2.500 kilometer dari Mesir. Temuan itu menandakan bahwa spesies baru tersebut tidak hanya tinggal di negeri itu.

Tampaknya, kata Sillero, nama Egyptian jackal sangat mendesak untuk diubah. “Dan statusnya yang unik sebagai satu-satunya serigala abu-abu di Afrika membuat namanya perlu diubah menjadi African wolf,” ucapnya.

“Penemuan ini juga menunjukkan bahwa teknik genetik bisa mengungkap biodiversitas yang tersembunyi di negara-negara yang jarang tersentuh eksplorasi seperti Ethiopia,” ucap Afework Bekele, profesor dari Addis Ababa University. (kd)
• VIVAnews

NASA Temukan Tata Surya Baru

Dua planet yang lebih dekat ke bintangnya diperkirakan memiliki atmosfir mengandung air.

Ukuran planet Kepler 11b sampai 11g (nationalgeographic.com)

VIVAnews - Kepler, obeservatorium luar angkasa milik NASA menemukan sistem tata surya yang terdiri dari enam buah planet mengitari bintang serupa Matahari. Oleh sejumlah astronom, planet-planet itu disebut sebagai mini Neptunus.

Lima planet baru itu mengorbit dekat dengan mataharinya (Kepler 11), lebih dekat dibandingkan dengan jarak Matahari ke planet Merkurius milik tata surya kita. Adapun planet keenam berada di jarak yang lebih jauh. Kurang lebih berjarak sama dengan jarak Matahari ke Venus.

“Ini merupakan sistem planet yang sangat rapat,” kata Jonathan Fortney, astronom dari Lick Observatory, University of California, Santa Cruz, seperti dikutip dari National Geographic, 4 Februari 2011.

Planet-planet tersebut (diberi nama Kepler 11b sampai Kepler 11g), kata Fortney, berukuran relatif kecil, mulai dari 2 hingga 4,5 kali ukuran Bumi. Selain itu, planet baru yang ditemukan juga ternyata sangat ringan. “Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar planet-planet itu terdiri dari gas,” ucapnya.

Dari penelitian, diketahui bahwa empat dari enam planet itu memiliki atmosfir tebal yang mengandung hidrogen dan helium.

Dua planet yang lebih dekat ke bintangnya memiliki densitas yang lebih tinggi. Diperkirakan, kedua planet ini memiliki atmosfir yang sebagian besar terdiri dari air, dan hanya sedikit hidrogen dan helium.

“Dapat menemukan banyak planet milik sebuah bintang dan dapat mengkalkulasikan kandungan planet itu merupakan anugerah ilmiah,” kata Fortney. “Sama seperti paleontologis yang mempelajari spesies dinosaurus, astronom bisa melihat banyak dunia lain yang lahir bersamaan untuk lebih memahami transformasi planet-planet,” ucapnya.

Kini, kata Fortney, kita bisa melakukan perbandingan ilmiah. “Kita bisa memperkirakan bagaimana evolusi planet-planet telah menyimpang sejalan dengan waktu,” ucapnya.
• VIVAnews